SURAT-SURAT YANG TERLAMBAT SAMPAI
Oleh:
Utami Panca Dewi
(dimuat di majalah GADIS, edsi no. 04, April 2017)
Aku menunduk gamang sambil memegang
kertas di tanganku. Kelas masih sepi. Hanya ada seorang saja yang menemaniku
sambil matanya menatap tajam ke arah kertas yang ada dalam genggamanku. Milli. Cewek
berkulit putih itu, teman sebangkuku sejak duduk di kelas sepuluh IPA Satu.
“Apa susahnya menyelidiki, tentang seseorang
yang telah menaruh surat-surat itu di lokermu? Jangan-jangan… secret admirer…” kata-kata terakhir Milli yang dibisikkannya di telinga
kiriku itu sungguh mengagetkanku. Aku
hampir terlonjak karenanya.
“Percuma,
Mil. Tulisan dengan huruf terbalik-balik itu, tak kumengerti sama sekali
maknanya.” Aku melipat surat itu, lalu memasukkannya ke dalam tas.
”Tapi
ini sudah keempat kalinya!”
Bel
keburu berbunyi. Teman-teman yang tadi bercengkerama di luar, serentak masuk ke
dalam kelas, mengambil tempat duduk masing-masing dengan tertib. Seperti
pengunjung yang sudah lama antri untuk memasuki Wahana Kora-kora di Dufan. Bu Tari, guru Fisika itu sudah masuk ke
ruang kelas. Kayon juga. Cowok kidal yang selalu menatapku dengan sengit itu. Sejak
ia memergokiku sedang menggunjingkan ’kelebihan’ tangan kirinya itu di kelas,
ia sepertinya membenciku. Aku segera mengalihkan pandanganku ke tembok, begitu tatapanku
bersirobok dengan mata sipit Kayon. Tentu saja sebelum aku gelagapan, karena
dipanggil secara mendadak oleh Bu Tari untuk mengerjakan PR nomer satu di depan
kelas.
@@
Aku
tetap melanjutkan hidupku, dan tak terganggu lagi dengan kedatangan surat-surat
aneh yang tak terbaca, karena hurufnya yang serba terbalik itu. Sampai suatu
siang, Milli berlari-lari kecil menjumpaiku. Mulutnya masih terengah saat ia
berteriak antusias kepadaku.
”Humprah... Demi hadiah yang kamu
janjikan kapan hari itu, aku akhirnya bisa memecahkan teka-teki surat di
lokermu!”
”Jadi
siapa pengirimnya?”
”Siapa
lagi? Kayon!”
Dengan
menggebu, Milli mengungkapkan teorinya. Penjelasannya sudah seperti penjelasan
Bu Tari saat menjelaskan hukum kekekalan energi. Teorinya tentang ’Mirror Writing’ benar-benar berhasil
membuatku ternganga. Tulisan dalam kertas-kertas yang beberapa hari belakangan
telah menjadi tamu di lokerku, memang sulit dibaca dengan mata telanjang.
Namun, lain halnya apabila dibaca melalui cermin.
”Kenapa
harus dibaca dengan cermin?” Mukaku mungkin terlihat sangat bodoh saat
menanyakan hal itu di depan Milli yang berotak cemerlang.
”Kamu
pernah melihat mobil Ambulance? Kenapa
tulisan Ambulance yang ada di depan
mobil selalu terbalik?” tanya Milli berapi-api.
”Agar
pengemudi yang ada di depan mobil ambulance
segera memberi jalan. Sifat cermin adalah menciptakan ’bayangan’ yang
berkebalikan dengan obyeknya, kanan menjadi kiri, kiri menjadi kanan. Pengemudi
yang ada di depan ambulance akan
membaca tulisan AMBULANCE dengan jelas dari kaca spion,” jawabku diplomatis.
”Nah! Sekarang mari kita baca
bersama-sama, tulisan dalam surat-surat yang nyasar ke lokermu itu
melalui cermin!” ajak Milli dengan antusias.
”Tapi
tunggu!! Apa hubungannya dengan Kayon coba?” aku masih saja belum mengerti
dengan jalan pikiran sahabatku itu.
Milli
menatapku dengan gemas. Lalu ia menjelaskan bahwa cara menulis dengan huruf
terbalik-balik tersebut ada kaitannya dengan kekidalan Kayon. Seseorang yang
kidal, secara alami memiliki cara menulis dengan teknik dari kanan ke kiri.
Huruf yang ia goreskan, juga akan ditulis terbalik secara horisontal.
”Kamu
pernah membaca artikel tentang lukisan ’Vitruvian Man’ yang dibuat oleh
Leonardo da Vinci? Catatan di atas dan di bawah lukisan tersebut sulit dibaca
dengan mata telanjang, namun sangat jelas dibaca melalui cermin. Mirror Writing, Isya! Leonardo juga
seorang kidal! Kamu masih bertanya apa hubungannya dengan Kayon?”
Lagi-lagi aku cuma bisa menggeleng
bodoh. Milli bertambah gemas. Referensi pengetahuan yang kumiliki memang sangat
payah, kalau dibandingkan dengan Milli yang kutu buku itu.
@@
Maka
sore itu sepulang sekolah, aku dan Mili segera sibuk menerjemahkan teka-teki
isi surat yang sengaja dimasukkan seseorang ke dalam lokerku. Kami duduk
bersisian di sebuah kamar yang penuh berjejalan dengan buku-buku. Tentu saja di
kamar Milli, yang hanya beda-beda tipis dengan kios lapak buku bekas yang ada
di sepanjang Jalan Stadion Selatan.
AKU MENYAYANGIMU, SELALU.
Kami
membaca kalimat pendek dalam surat pertama yang dikirim ke lokerku. Mataku saling
bertatapan dengan mata Milli, sebelum akhirnya tawa Milli meledak, membuat
wajahku yang semula dipenuhi rasa penasaran menjadi cemberut seketika.
”Astaga naga... jadi diam-diam Si
Introvert itu naksir sama kamu, Isyana?” tanya Milli setelah berhasil meredakan
tawanya. Namun senyum jahil masih menghiasi wajahnya.
Aku
meraih bantal dan memukul punggungnya dengan gemas. Milli mengaduh-aduh sambil
memintaku untuk meneruskan membaca isi surat yang kedua. Aku menyetujui
permintaannya dengan satu syarat: Ia tak lagi menertawakanku.
TOLONG, MAAFKANLAH AKU. PLEASE! AKU INGIN
BERBUAT YANG TERBAIK UNTUKMU.
”Ini justru terbalik, Milli.
Seharusnya aku yang minta maaf kepada Kayon. Bukankah aku yang selalu mengejek
kekidalannya? Bahkan membicarakan keanehannya itu di belakang dia?”
”Tunggu
dulu Isya. Mungkin ia meminta maaf justru untuk ’memberi muka’ kepada orang
yang sudah berbuat salah.”
”Memberi muka? Maksudmu?”
”Iya,
dia kan tertarik kepadamu. Makanya dia
nggak mau mempermalukanmu dengan menyuruhmu meminta maaf kepadanya di depan
teman-teman. Itu namanya berjiwa besar.”
Aku
mengangguk-angguk, meskipun sejatinya kurang mengerti dengan penjelasan Si
Jenius itu. Ah, biarlah lain kali akan kutanyakan. Sekarang lebih baik
meneruskan lagi dengan membaca surat yang ketiga dan keempat.
BAGAIMANA KALAU HARI INI KITA KETEMU DI KAFE
JINGGA? MEJA NOMER 13, SUDUT KAFE.
”Dia
mengajakmu kencan, Isya. Tapi ini sudah seminggu yang lalu. Sudah terlambat
untuk datang.” Tak ada ekspresi mengejek dari muka Milli. Yang ada justru
ekspresi penyesalan. Entah kenapa hatiku jadi berdebar-debar. Kayon mengajakku
untuk bertemu? Ini sungguh berita yang luar biasa. Aduh Mama... tidakkah ia
tahu, bahwa alasanku sering membicarakannya, justru karena aku juga sangat
tertarik kepadanya?
AKU INGIN MENITIPKAN KEHIDUPANKU DI TUBUH
MAMAMU. DENGAN BEGITU KITA AKAN SELALU BERSAMA.
”Kalimat
dalam surat terakhir agak aneh, Mil. Kayon dan Mamaku belum saling kenal!”
Kutatap wajah sahabatku dengan seksama. Berharap otaknya yang cemerlang itu
akan berhasil memecahkan maksud Kayon dengan isi suratnya yang keempat itu.
”Bisa saja Kayon itu anak dari sahabat
Mamamu? Kamu kan tidak pernah tahu dan selalu tidak mau tahu?”
Aku melengos mendengar sindiran Milli itu.
”Iya.. iyaaaa.... Sekarang apa saranmu?”
tanyaku penuh harap.
”Temui
Kayon! Tunjukkan surat-surat itu.”
Mataku
membeliak lebar mendengar usul Milli yang tak masuk akal itu. Aku, menemui Si
Introvert itu? Beuh...
@@
Pertemuan
antara aku dan Kayon akhirnya terjadi juga. Di kafe Jingga, seperti yang telah ditulisnya di
surat yang ketiga. Tentu saja dengan bantuan Milli. Selain pintar, ternyata
Milli juga berbakat sebagai Mak Comblang. Hahay... aku hampir tersedak
mendengar kata-kata itu. Di jaman secanggih ini, dengan fasilitas banyak social media, ternyata kencanku dengan
seorang cowok masih diatur oleh seorang Mak Comblang.
Tetapi tidak seperti saat memecahkan soal
matematika dan fisika. Untuk urusan memecahkan kebekuanku dengan Kayon, Si
Milli telah mengalami kegagalan yang fatal.
”Aku tidak pernah menulis surat-surat yang
kau tunjukkan itu!”
Mataku terbeliak mendengar jawaban Kayon
itu, sebelum kemudian meredup. Setelah dengan susah payah, aku menjelaskan arti
kalimat demi kalimat dari surat-surat itu, dia malah membantahnya? Aku
betul-betul menjadi salah tingkah di depannya. Kalau ada jus wortel yang
dikombinasikan dengan buah tomat, mungkin paras mukaku sudah sewarna dengan
itu. Parah betul. Dalam hati, aku mengutuk habis-habisan usul dari Milli.
”Jadi kamu nggak menginginkan
pertemuan kita di kafe ini?” kuberanikan bertanya lagi, sambil menatapnya
sekilas.
Lagi-lagi Kayon menggeleng sambil
mengangkat bahu. Mukanya datar banget. Beuhhh...
Pertemuan itu berakhir dengan
punggung Kayon yang bergerak menjauhiku. Aduh Mama.... Mau ditaruh di mana
mukaku kalau nanti bertemu dengan Kayon lagi?
@@
Hari ini aku tak melihat Kayon di
kelas. Juga hari berikutnya. Kupikir ini lebih baik untukku, setelah peristiwa
memalukan di Kafe Jingga tempo hari. Kata ketua kelas, Kayon pindah ke
Singapura untuk menemani Mamanya yang menderita penyakit ginjal kronis dan
sedang berobat ke sana. Siapa yang peduli? Aku sudah move on dari cowok
Introvert itu, meskipun bayangannya terkadang sesekali masih suka melintas di
pikiranku. Tapi lagi-lagi justru Milli yang mengusik ketenangan hidupku.
”Hey... Jadi kamu sudah nyerah Sya?”
”Maaf, ini tentang apa ya? Kalau
tentang Si Kayon...”
”Dia sudah pergi, Isya. Forget
him. Tapi ini masih tentang surat-surat yang ada di lokermu. Kemarin sore
sepulang rapat OSIS, tanpa sengaja aku melihat seorang adik kelas memasukkan
sehelai kertas ke lokermu. Wajahnya cantik, meskipun agak pucat.”
”Hah? Jadi pelakunya cewek? Jangan-jangan
dia penyuka sesama....”
Milli buru-buru menutup mulutku dengan telunjuknya
yang lentik. Kalimat-kalimat
bijaksana segera berhamburan dari bibirnya. Agar aku berpikiran positif, agar
bersedia membantunya menyelesaikan masalah pelik itu. Hai... surat-surat itu kan masalahku, kenapa
justru Milli yang repot? Dasar sok detektif.
”Ayolah Isya, paling tidak kita harus
mengetahui isi surat yang kelima yang ditulis gadis itu. Siapa tahu, kita akan
mendapatkan jawaban dari suratnya yang kelima?”
”Itu lebih seperti memo, Mil. Surat kok
tidak ada identitasnya. Dari siapa? Untuk siapa?” keluhku beruntun. Aku sudah
kepalang patah hati, menyadari bahwa Kayon tak ada hati kepadaku.
Aku masih ingin mengomel panjang pendek,
ketika lenganku sudah digamit oleh lengan Milli. Ya Tuhan... gadis kawan
akrabku itu menyeretku dengan setengah memaksa. Ke mana lagi kalau bukan ke
arah loker.
Lalu seperti biasanya, kertas dengan huruf
terbalik-balik itu berhasil dibaca oleh Milli dengan bantuan cermin.
KE
MANA, KAK KAYON DUA HARI INI? KUTUNGGU KAKAK HARI INI DI KAFE JINGGA
PUKUL LIMA SORE. JANGAN TERLAMBAT, JANGAN PULA DATANG LEBIH AWAL. AKU AKAN
MENJELASKAN ALASANKU MEMUTUSKAN HUBUNGAN KITA.
Aku dan Milli saling berpandangan. Jadi
gadis itu mantan kekasih Kayon. Tetapi kenapa ia salah meletakkan suratnya
dalam lokerku?
”Lokermu bersebelahan dengan loker Kayon.
Gadis itu telah salah sejak awal dalam meletakkan surat-suratnya. Bukankah kau juga pernah melakukan
kesalahan yang sama?”
Milli seperti bisa membaca jalan
pikiranku. Aku jadi ingat, dulu pernah beradu mulut dengan Kayon, gara-gara
salah meletakkan tasku di lokernya, sehingga ia terpaksa meletakkan tasnya di
lokerku. Aku manggut-manggut.
”Lalu apa yang harus kita lakukan
sekarang?” tanyaku.
”Kita temui gadis itu nanti sore di Kafe
Jingga”
@@
Dan, di sinilah aku. Di Merlion Park, di pinggir Singapore
River, seberang gedung Esplanade. Aku berjanji untuk bertemu dengan Si
Introvert itu di dekat patung Merlion. Untuk apa lagi, kalau bukan untuk urusan
kelima surat untuknya yang nyasar ke lokerku.
Dua hari sebelumnya, aku dan Milli telah
bertemu dengan gadis itu. Rauda namanya. Ia begitu terkejut melihat
kedatanganku dan juga Milli di Kafe Jingga. Setelah Milli menjelaskan tentang kelima suratnya
yang salah alamat, Rauda pun mulai bercerita. Tentang ia dan Kayon yang
sama-sama kidal. Tentang pertemuan mereka di club ANTARI (Anugerah Tangan
Kiri). Lalu mereka saling jatuh cinta, sebelum akhirnya Rauda memutuskan Kayon
secara sepihak, tanpa ada satu penjelasan pun kepada cowok itu.
”Jadi, apa alasanmu memutuskan hubungan?”
tanyaku tanpa basa basi. Milli
menyodok perutku dan aku meringis karenanya.
”Aku tak mau membuatnya sedih Kak, karena
hidupku tak akan lama lagi. Aku penderita Paru-paru Obstruktif Kronis,” jelasnya
sambil menunduk.
Rauda mengirimkan surat-surat pendek itu,
karena ingin meminta maaf kepada Kayon. Ia juga ingin menjelaskan alasannya
meminta putus dari Kayon. Dan
satu lagi yang lebih penting, ia ingin menyumbangkan ginjalnya kepada Mamanya
Kayon, bila kematian telah menjemputnya.
Entah kenapa hatiku tiba-tiba berdesir. Aku
jadi terkepung oleh rasa haru dan merasa kasihan dengan nasib gadis itu. Di
depan Milli, aku berjanji akan menemukan Kayon di Singapura, untuk menyerahkan
surat-surat yang telah ditulis oleh Rauda. Lalu Rauda juga mengutarakan niatnya
untuk menuliskan selembar surat lagi dan menitipkannya kepadaku. Berdua dengan
Milli, kutunggui gadis itu menulis surat.
Kugenggam erat surat yang dititipkan oleh
Rauda untuk Kayon. Kemarin,
seperti anak kecil, aku membujuk Mama agar diperbolehkan ikut terbang ke
Singapura. Sebetulnya, Mama sering menawariku untuk ikut, saat Mama sedang ada
urusan ke Singapura. Seminggu dua kali, Mama pergi ke Singapura untuk bertemu
dengan rekanan bisnisnya. Mama keheranan, karena sebelum-sebelumnya aku selalu
menolak ajakannya, dengan alasan tak mau ketinggalan pelajaran.
”Ini menyangkut urusan kemanusian, Ma. Please!” Mama hanya tersenyum sambil
mengucel rambutku. Jadilah aku ke Singapura dengan penerbangan yang pertama.
Setengah jam sudah aku menunggu kedatangan
Kayon. Aku hampir putus asa, ketika tiba-tiba kulihat kelebat bayangan
tubuhnya, dari arah gedung Esplanade, sedang menyeberangi jembatan menuju ke
Merlion Park. Aku berhasil meneleponnya, setelah mendapatkan nomer ponsel Kayon
dari pegawai Tata Usaha sekolah. Tentu saja dengan bantuan Milli.
”Kamu ingin menemuiku untuk sebuah urusan
penting? Urusan apa?” tanya Kayon dingin.
”Tentang
surat-surat itu, ehm...”
”Bukankah
urusannya sudah selesai? Bukan aku yang menulis surat-surat itu.”
”Iya,
memang bukan kamu, tapi seorang gadis bernama Rauda.. Sekarang aku membawa
surat yang kelima dan keenam untukmu.”
Mendengar
kata Rauda, mata Kayon terlihat lebih menyipit, lalu kedua bibirnya mengatup
seperti menahan sebuah kesedihan. Aduh.. Mama. Kenapa aku masih merasa cemburu?
Kembali kusadari bahwa ternyata aku telah
gagal move on. Kuserahkan kedua surat Rauda tanpa berani
menatap wajahnya lagi.
Untuk
beberapa jenak ia terdiam setelah membaca surat,
lalu mengambil napas panjang.
”Apa
yang dikatakan Rauda?” tanyaku tak sabaran, meskipun aku sudah bisa
menduga-duga tentang isi surat
Rauda yang terakhir.
”Ia
ingin menyumbangkan ginjalnya untuk Mama,” bisik Kayon hampir tak terdengar.
Aku menggigit bibir tanpa bisa berkomentar
apa-apa. Sejenak aku dan Kayon sama-sama terdiam, sebelum dering ponsel dari
tas punggungku mengacaukannya. Ternyata dari Milli.
”Isya, Rauda meninggal dunia Sya. Kamu
harus bisa mengajak Kayon pulang!” Ucap Milli dari sebrang sana sambil
diselingi tangis. Aku berusaha menghentikan tangis Milli sambil menanyakan
kebenaran berita itu. Dan berita dari Milli ternyata benar. Lututku tiba-tiba
goyah. Telepon belum sempat kututup karena mendadak tanganku terkulai lemas.
Tak tahu lagi aku bagaimana caranya menyampaikan berita itu kepada Kayon.
”Telepon dari siapa?”
”Dari Milli. Rauda sudah... meninggal... Kay,” ucapku
lirih dan terbata. Maafkan aku, karena terlambat menyampaikan surat-surat
itu. Lanjutku dalam hati.
Yang
terjadi selanjutnya adalah dua tubuh yang diam membeku seperti patung ikan
berkepala singa di Merlion Park. Aku
tak bisa mengira sebesar apa perasaan kehilangan yang sedang melanda hati
Kayon. Sekarang ia telah kehilangan Rauda. Mungkin sebentar lagi ia akan
kehilangan Mamanya yang tak kunjung mendapatkan pendonor ginjal. Yang jelas,
perasaan bersalahku ribuan kali lebih besar. Jauh melebihi perasaan bersalahku
saat menggunjingkan ‘kelebihan’ tangan kirinya itu bersama teman-teman di kelas
beberapa waktu lalu.@end@
JOIN NOW !!!
BalasHapusDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.cc